Optimisme; Menanggalkan Segala Kekhawatiran

ADMINPESANTREN Selasa, 23 November 2021 06:31 WIB
1149x ditampilkan Galeri Headline Artikel Ilmiyah Opini Santri

Oleh: Muhammad Sholeh Fuddin*

Optimis merupakan sifat yang memang seharusnya melekat dan tertanam dalam pribadi setiap insan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dijelaskan bahwa Optimisme adalah paham (keyakinan) atas segala sesuatu dari segi yang baik dan menyenangkan. Hemat kata, optimis dapat diartikan sebagai sikap selalu mempunyai harapan baik dalam segala hal.

Optimisme merupakan dalang di balik layar sebuah perjuangan. Berkat optimislah akan muncul keyakinan, berangkat dari keyakinan akan lahir action, dan dari action itulah akan nampak sebuah keberhasilan. Konklusinya dapat dipahami bahwa tidak ada seseorang yang akan mencicipi manis hasil perjuangan sebelum dia berangkat dari rasa optimisme.

Untuk hasil akhir, antara berhasil dan tidaknya, tidak perlu dipersoalkan terlebih dahulu. Ingat bahwa Allah Maha Rahman dan Rahim sehingga akan selalu memberikan hasil yang terbaik terhadap hamba-hamba-Nya. Jika sekalian pembaca yang budiman mendapati kegagalan atau ketidak sesuaian antara ekspektasi dan realita, jangan serta merta dan terburu-buru menjustifikasi dalam kacamata negatif yang nantinya malah menggiring pada jalur keputusasaan (pesimis).

Tidak semuanya terlahir secara instan. Sehingga tidak sepantasnya seorang pengusaha baru dan amatiran tiba-tiba kecewa karena taraf branding produknya jomplang dengan pengusaha-pengusaha sukses yang telah banyak melewati jatuh-bangunnya, manis-pahitnya, serta asam-garamnya kehidupan. Selain itu, dalam hidup tidak ada ceritanya uang jatuh dari langit berkat doa penjemput rezeki.

Lantas, apa hubungan antara rasa optimis dengan kehidupan santri? Apa hubungan antara rasa optimis dengan proses belajar? Hemat penulis, santri dan proses belajarnya mempunyai kebergantungan yang begitu urgen dengan rasa optimis. Tanpa optimis, mungkin saja santri yang mendapati hasil akhir; baik dari aspek nilai rapor, latar belakang ekonomi, bahkan kemampuan atau kualitas dirinya jauh dari yang diharapkan, malah bersikap pesimis dan putus asa. Semua hasil akhir yang jauh dari kata sempurna itu akan menimbulkan kekecewaan mendalam, menjadi tidak kerasan, hingga malah antipati dengan proses belajarnya. Seolah-olah jika dalam bahasa kita, “untuk apa belajar, untuk apa mengaji, untuk apa berproses, wong hasilnya sama saja. Saya tidak akan bisa”.

Rasulullah adalah sebaik-baiknya manusia dalam segala aspek kehidupan, mulai dari aspek keimanan, ketakwaan dan akhlaq mulia. Beliau adalah seseorang yang sebagaimana dijelaskan al-Quran sebagai uswatun hasanah. Beliau adalah imam yang baik di masjid, panglima yang mumpuni di medan perang, guru yang mahir di majelis ilmu, suami yang penyayang dalam rumah tangga dan ayah yang mengayomi terhadap putra-putrinya. Sehingga keutamaan pribadi dan keteladanan nabi tak ada habis-habisnya dikaji para ulama, ilmuwan, dan cendekiawan.

Dalam kapasitasnya sebagai nabi, rasul dan insan teladan, Beliau menyampaikan pesan besar kepada umatnya. Diriwayatkan dari Shuhaib bin Sinan ar-Rumi, Nabi bersabda: “Sangat menakjubkan urusan orang mukmin itu, karena setiap urusannya akan menjadi kebaikan baginya. Tidak ada yang sedemikian ini, kecuali hanya dalam kehidupan orang mukmin saja, jika mendapatkan kebaikan, maka dia bersyukur, lalu syukur itu menjadi kebaikan (pahala) baginya. Dan jika ia tertimpa kesusahan, dia bersabar, maka sabar itu menjadi kebaikan baginya.” [H.R. Muslim].

Kita selaku umat Nabi Muhammad bisa memaknai hadits atau sabda nabi di atas sebagai solusi atas setiap masalah orang mukmin untuk selalu husnudzon dalam segala keadaan. Karena pada dasarnya, masalah manusia tak akan pernah luput dari dua hal: nikmat dan musibah, keberhasilan dan kegagalan, suka dan duka, tertawa dan menangis dan begitulah seterusnya. Namun ketika ditelaah lebih dalam, rasanya ada beberapa makna tersirat dalam hadis ini.

Hadis ini mengandung hakikat rasa optimisme yang luar biasa. Dijelaskan bahwa seorang mukmin adalah pribadi yang kuat dan tangguh. Mukmin senantiasa tidak lemah ketika diterpa musibah, sebagaimana tak berlebihan atau foya-foya ketika dilimpahi nikmat. Mukmin senantiasa tidak terlalu larut dalam kesedihan, sebagaimana juga tak terlalu ber-euforia atas kegembiraan. Mukmin adalah mereka yang ketika dihina tidak tumbang dan ketika dipuji tidak terbang. Mukmin sudah seharusnya menjadi pribadi yang optimis serta percaya diri dalam segala hal, ia laksana batu karang yang tetap tegak meski terus dihempas derasnya gelombang.

Dalam kajian sejarah pun, bukankah kita seringkali disuguhkan cerita betapa berpengaruhnya peran Khadijah binti Khuwailid terhadap agama Islam. Beliau bukan sekadar perempuan janda yang dinikahi Rasulullah, bukan juga sekadar perempuan kaya raya yang mendermakan hartanya fii sabilillah, bukan juga sekadar manusia pertama yang beriman kepada Rasulullah, namun ia juga wanita pejuang yang tak pernah lekang dari rasa optimisme atas keberhasilan dakwah Rasulullah.

Ketika suaminya (Rasulullah) meminta izin untuk ber-uzlah (menyepikan diri) ke Gua Hira guna meminta petunjuk, mengetuk pintu langit yang nantinya terhubung pada keridhaan sang Robbil ‘Aalamiin. Disitu Khadijah mengizinkan bahkan sampai hati mempersiapkan bekal untuk kebutuhan Rasulullah selama ber-uzlah. Dia sama sekali tidak keberatan dan tidak pula bersedih sekalipun ditinggal selama berhari-hari tanpa kehadiran Rasulullah.

Sama halnya saat Rasulullah pulang dalam kondisi menggigil pasca menerima wahyu. Kecemasan Rasulullah kala itu berusaha diredam dengan rasa optimisme Khadijah untuk menenangkan dan menghibur hati suaminya. Khadijah berkata, “Sungguh berhargalah engkau. Demi Allah, Allah tidak akan menghinakan engkau selamanya. Demi Allah, engkau telah menyambung tali silaturahmi, engkau berkata secara jujur, memikulkan beban manusia, membantu orang-orang yang terbuang, memuliakan tamu dan engkau menolong orang-orang yang benar.” Perkataan Khadijah tersebut kemudian menyalurkan energi positif dan rasa optimis terhadap Rasulullah dalam mensukseskan misi risalahnya.

Terakhir, tidak ada kebahagiaan yang diraih dengan begitu mudah. Layaknya seorang santri, untuk naik tingkat dari kelas satu ke tingkatan di atasnya, maka perlu melawan beribu-ribu rasa malas dan merasakan betapa sulitnya ujian. Tetapkan di hati prinsip Surah al-Insyirah ayat 5-6: “Faa inna ma’al ‘usri yusraa, Inna ma’al ‘usri yusraa.” Tetaplah menjadi diri sendiri, dan optimislah mewujudkan impian dan cita-cita kita suatu hari nanti. Wallahu a’lam bis shawab.

*Penulis adalah santri aktif Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata. Saat ini sedang duduk di kelas 12 IPA 4 Madrasah Aliyah Mambaul Ulum Bata-Bata.