HUKUM PERCIKAN PETIS

ANIES Ahad, 18 Februari 2018 00:03 WIB
14032x ditampilkan Headline Konsultasi

Pertanyaan :

Assalamu’alaikum wr. wb.

Saya mau bertanya terkait petis. Begini ustadz, petis itu kan suci dan boleh dikonsumsi layaknya makanan pada umumnya. Tapi, ada yang mengatakan kalau petis tersebut kena baju maka tidak sah kalau dipakai saat shalat. Dan ada pula yang mengatakan bukan petis tapi terasi. Kalau memang benar begitu, apa alasannya? Mohon penjelasannya ustadz!

Jawaban :
Wa’alaikumussalam wr. wb.
Hukum petis adalah sebagaimana berikut:
Imam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali al Thusi di dalam kitabnya al Wasith Fil Madzhab menuturkan bahwa kotoran ikan, belalang dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir, maka dalam hal ini ada dua pendapat:

  1. Pendapat pertama menyatakan bahwa kotoran ikan, belalang dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir adalah najis karena mengikuti terhadap analogi (qiyas) II.
  2. Pendapat kedua menyatakan bahwa kotoran ikan, belalang dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir adalah suci, karena bangkai hewan-hewan tersebut adalah suci. Jika kotorannya dihukumi najis, maka sudah selayaknya bangkainya pun dihukumi najis, karena di dalam bangkai dipastikan terdapat kotoran.

Imam Abu Zakariya Muhyiddin Yahya bin Syaraf al-Nawawi didalam kitabnya Majmu’ Syarch al Muhaddzab berkata: “Sesungguhnya madzhab kami (madzhab Syafi’i) menyatakan bahwa semua kotoran dan air kencing semua hewan adalah najis, baik hewan yang halal dikonsumsi dagingnya atau tidak, termasuk burung. Demikian juga kotoran ikan, belalang serta hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir seperti lalat, maka kotoran dan air seninya adalah najis dengan mangacu kepada salah satu madzhab.

Al-Nawawi menyatakan bahwa pendapat ini merupakan pendapat yang dipilih para cendekiawan Iraq dan sekelompok ulama’ di Khurasan, Persia. Namun sebagian ulama’ Persia yang lain menceritakan sebuah pendapat yang diklaim lemah yang menyatakan kesucian kotoran ikan, belalang dan hewan yang tidak memiliki darah yang mengalir. Dan kami juga telah menceritakan sebuah pendapat dari pengarang kitab al-Bayan dan pendapat Imam al-Rafi’i yang menyatakan bahwa air kencing dan kotoran hewan yang halal dikonsumsi dagingnya adalah suci.

Al-Nawawi menyatakan bahwa pendapat ini adalah pendapat yang sulit dirasionalkan. Pengarang kitab al-Ibanah menyatakan bahwa mengenai kotoran ikan, terdapat dua pendapat, namun pendapat yang lebih autentik (ashah) diantara keduanya adalah pendapat yang menyatakan suci. Mengacu kepada pendapat ini, maka diperbolehkan mengkonsumsi ikan yang belum dikeluarkan kotorannya.

Jika terasi atau petis tersebut dibuat dari ikan yang sudah dibersihkan kotorannya tentu tak jadi persoalaan. Yang jadi masalah adalah kalau ikan yang dipakai dalam pembuatan terasi atau petis itu belum dibersihkan kotorannya. Ulama’ madzhab Syafi’i berbeda pendapat dalam hukum kotoran ikan.

  1. Pendapat pertama menghukumi kotoran ikan adalah najis, seperti yang dikemukakan oleh Syaikh Abu Hamid. Al Qodhi Abit  Thoyyib menambahkan jika kotoran ikan dihukumi najis, maka seandainya ikan tersebut digoreng tanpa dikeluarkan kotorannya, maka minyak gorengnya dihukumi mutanajjis. Pendapat yang menghukumi najisnya kotoran ikan adalah pendapat yang ashoh menurut Syeh Al Buroihami. Menurut Imam Nawawi ini adalah pendapat yang diakui dalam madzhab. Ulama Iraq dan sebagian golongan ulama’ Khurosan juga mengikuti pendapat ini, sedangan sebagian ulama’ Khurosan lainnya meriwayatkan satu pendapat yang lemah bahwa kotoran ikan hukumnya suci.

 

  1. Adapun pendapat yang kedua, kotoran ikan dihukumi suci. Salah satu alasan yang dikemukakan oleh pendukung pendapat ini adalah bahwa jika bangkainya dihukumi suci, maka kotorannya pun tentu dihukumi suci. Karena dalam bangkai pun tentu ada kotorannya. Imam Ibnu Hajar, Imam Ziyad, dan Imam ar-Romli dan ulama’ lainnya juga menyepakati ketetapan hukum bahwa kotoran yang terdapat pada ikan-ikan kecil dihukumi suci dan boleh dimakan. Karena itu, benda-benda yang terkena kotoran tersebut, seperti minyak goreng tidak najis bila terkena kotoran ikan tersebut. Bahkan menurut Imam ar-Romli hukum ini juga berlaku bagi ikan yang besar. Penulis kitab al-Ibanah menilai pendapat yang menghukumi suci kotoran ikan adalah pendapat yang benar  (ashoh), bahkan Imam al-Rosyidi menganggap bahwa pendapat  yang menghukumi najis kotoran ikan adalah pendapat yang lemah, dan mengklaim bahwa pendapat yang menghukumi suci kotoran ikan adalah pendapat yang mu’tamad.

‘Ibarat :

1. Al Wasith, Juz : 1, Hal : 154

الثاني روث السمك والجراد وما ليس له نفس سائلة ففيه وجهان أحدهما نجس طردا للقياس والثاني أنه طاهر لأنه إذا حكم بطهارة ميتتهما فكأنهما فى معنى النبات وهذه رطوبات فى باطنها

2. Al Bayan, Juz : 4 hal : 525

قال الشيخ أبو حامد: وأما السمك الهازي: وهو السمك الصغار، الذي يقلى ببغداد ولا يخرج ما في جوفه من الرجيع.. فلا يحل أكله ورجيعه فيه؛ لأن رجيعه نجس، فلا يحل أكله.

فعند الشيخ أبي حامد: روث السمك نجس وجها واحدا، وفي دمه وجهان.

وأما صاحب ” الإبانة “: فقال: في روث السمك وجهان، كدمه، أصحهما: أنه ليس بنجس.

فعلى هذا: يحل أكله قبل أن يخرج.

3. Al Majmu’, Juz : 2 Hal : 550

قد سبق أن مذهبنا أن جميع الارواث والدرق والبول نجسة من كل الحيوان سواء المأكول وغيره والطير وكذا روث السمك والجراد وما ليس له نفس سائلة كالذباب فروثها وبولها نجسان على المذهب وبه قطع العراقيون وجماعات من الخراسانيين وحكى الخراسانيون وجها ضعيفا في طهارة روث السمك والجراد وما لا نفس له سائل

4. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 15

فائدة : نقل عن البريهمي أنه قال فى الأصح أن ذرق السمك والجراد وما يخرج من فيها نجس وفى الإبانة أنه طاهر

5. Bughyatul Mustarsyidin, Hal : 15

وقد اتفق ابن حجر وزياد و م ر وغيرهم على طهارة ما في جوف السمك الصغير من الدم والروث ، وجواز أكله معه ، وأنه لا ينجس به الدهن ، بل جرى عليه م ر الكبير أيضاً

6. Fathul Jawad, Hal : 44

قال البندنيجي : سألت الشيخ أبا حامد عن سمك يقلى وفيه الروث هل يؤكل ؟ فقال : هو طاهر اه. وفى تعليق القاضي أبى اطيب : انه لو قلى سمكا وفى بطنه الروث تنجس الزيت بما فى بطنه من الروث وتنجس السمك اه. والصحيح الأول

7. Hasyiyah al Rosyidi Al Fathil jawad, hal : 44

قوله فقال هو طاهر : معتمد, وقوله تنجس ضعيف

– Nihayatuz Zain :

وأما حكم الروث فيعفى عنه في السمك الصغير دون الكبير فلا يجوز أكله إذا لم ينزع ما في جوفه لامتزاج لحمه بفضلاته التي في باطنه بواسطة الملح.  (نهاية الزين ج: 1 ص: 43

– Bughyatul Mustarsyidin :

(مسألة: ب): ذهب بعضهم إلى طهارة روث المأكول، بل ذهب آخرون إلى طهارة جميع الأرواث حتى من الكلب إلا الآدمي بل جرى عليه م ر الكبير ايضا لأن لنا قولا قويا أن السمك لادم له . إهـ

Dasar pengambilan (1)

الثَّانِي رَوْث السّمك وَالْجَرَاد وَمَا لَيْسَ لَهُ نفس سَائِلَة فَفِيهِ وَجْهَان أَحدهمَا نجس طردا للْقِيَاس وَالثَّانِي أَنه طَاهِر لِأَنَّهُ إِذا حكم بِطَهَارَة ميتتهما فكأنهما فى معنى النَّبَات وَهَذِه رطوبات فى بَاطِنهَا . الوسيط في المذهب . الجزء 1. صفحة  154.

Dasar pengambilan (2)

وَقَدْ سَبَقَ أَنَّ مَذْهَبَنَا أَنَّ جميع الارواث والدرق وَالْبَوْلِ نَجِسَةٌ مِنْ كُلِّ الْحَيَوَانِ سَوَاءٌ الْمَأْكُولُ وَغَيْرُهُ وَالطَّيْرُ وَكَذَا رَوْثُ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ وَمَا لَيْسَ لَهُ نَفْسٌ سَائِلَةٌ كَالذُّبَابِ فَرَوْثُهَا وَبَوْلُهَا نَجِسَانِ عَلَى الْمَذْهَبِ وَبِهِ قَطَعَ الْعِرَاقِيُّونَ وَجَمَاعَاتٌ مِنْ الْخُرَاسَانِيِّينَ وَحَكَى الْخُرَاسَانِيُّونَ وَجْهًا ضَعِيفًا فِي طَهَارَةِ رَوْثِ السَّمَكِ وَالْجَرَادِ وَمَا لَا نَفْسَ له سائل وَقَدْ قَدَّمْنَا وَجْهًا عَنْ حِكَايَةِ صَاحِبِ الْبَيَانِ وَالرَّافِعِيِّ أَنَّ بَوْلَ مَا يُؤْكَلُ وَرَوْثَهُ طَاهِرَانِ وَهُوَ غَرِيبٌ

المجموع شرح المهذب . الجزء 2. صفحة 550.

Dasar pengambilan (3)

قال الشيخ أبو حامد: وأما السمك الهازي: وهو السمك الصغار، الذي يقلى ببغداد ولا يخرج ما في جوفه من الرجيع.. فلا يحل أكله ورجيعه فيه؛ لأن رجيعه نجس، فلا يحل أكله. فعند الشيخ أبي حامد: روث السمك نجس وجها واحدا، وفي دمه وجهان. وأما صاحب ” الإبانة “: فقال: في روث السمك وجهان، كدمه، أصحهما: أنه ليس بنجس. فعلى هذا: يحل أكله قبل أن يخرج البيان . الجزء 4. صفحة  525

Referensi :

1. Al Wasith Fil Madzhab. I/ 154

2. Majmu’ Syarch al Muhaddzab. II/ 550

3. Al Bayan. IV/ 525

Kesimpulan :
Berdasarkan pemaparan  diatas, jika petis terbuat dari ikan yang belum dibersihkan kotorannya atau bahkan terbuat dari ikan yang masih utuh, jika mengacu kepada pendapat yang menyatakan bahwa kotoran ikan adalah najis, maka petis dihukumi najis dan haram dikonsumsi. Namun apabila mengacu kepada pendapat yang menyatakan bahwa kotoran ikan adalah suci, maka hukum petis adalah suci dan halal dikonsumsi.

Wallahu a’lamu bis shawab

Jawaban ini merupakan hasil bahtsul masa'il Ikatan Alumni Bata-Bata (IKABA)