Merenungi Utilitas Ilmu

ADMINPESANTREN Jumat, 10 Juni 2022 06:00 WIB
693x ditampilkan Galeri Headline Artikel Ilmiyah Kolom Alumni

Abdussyukur*

Saat itu tahun 1996 atau awal 1997. Penulis belajar 250 bait pertama Alfiyah. Penulis diajari tanwin begitu detail. Ada berapa jenis tanwin, definisi, dan contoh-contohnya. Yang bisa masuk isim dan yang tidak.

24 tahun berselang, tepatnya setahun yang lalu, penulis mengajukan pertanyaan kepada kawan kelas yang sama-sama belajar 10 tanwin. “apakah manfaat belajar 10 tanwin sebegitu detail itu dalam pekerjaan dan hidup Anda hari ini?”. Kami sama-sama tertawa. Tidak ada jawaban, karena kami sudah tahu jawabannya. Dalam hati. Lalu terjadilah diskusi tentang utilitas atau kebermanfaatan ilmu dalam kehidupan.

Mungkin masih banyak lagi pengetahuan lain yang bernasib sama: sekedar diketahui. Tidak lebih. Tidak ada manfaat apapun mempunyai ilmu seperti itu. Ia hanya sebagai “trash” dalam dirinya. Secara individu. Padahal, sejatinya ilmu dipelajari untuk kemanfaatan. Kemanfaatan itu bisa kembali pada pencari-pemiliknya secara individu atau sosial. Ilmu yang tidak berkontribusi terhadap pemiliknya, maka ia mulgha, sia-sia. Kesia-siaan inilah yang harus dihindari. Oleh pencari ilmu dan gurunya. Sekolah dan madrasahnya.

Janganlah guru mengajar sesuatu yang dia sendiri tidak tahu peruntukan ilmu itu. Bagi muridnya. Bagi kehidupannya di dunia, terlebih akhiratnya. Sepertinya keren bila guru mengajar sesuatu sampai begitu detail. Sampai lapis bumi yang ketujuh. Yang membuat murid-muridnya takjub karena banyak cabang-cabangnya. Dijelaskan serinci-rincinya. Sampai bagian yang terkecil. Sampai sekira seukuran supernano. Begitu detailnya. Padahal, yang bermanfaat bagi muridnya hanyalah yang di lapis pertama. Pengetahuan di lapis yang kedua dan seterusnya tidaklah dibutuhkan. Pengetahuan yang detail-detail itu sejatinya tidak berguna. Bahkan tidak ada manfaatnya. Tidak ada faedahnya. Di sinilah perlu memikirkan utilitas ilmu.

Utilitas ilmu adalah manfaat yang diterima atau dimiliki oleh pencari-pemiliknya. Utilitas ilmu dapat dilihat dari kebermanfaatan secara individu, keluarga, sosial, atau lingkup yang lebih luas. Ilmu tidaklah dicari untuk kepentingan ilmu itu sendiri. Ilmu dicari dan dimiliki untuk kebaikan individu, keluarga, dan lingkungan sosial. Ilmu yang memiliki utilitas adalah ilmu yang kontributif. Kontribusi ilmu dilihat seberapa jauh ia memberikan perubahan ke arah yang lebih baik. Kebenaran suatu ilmu dilihat bila ia bermanfaat. Bila ia memberikan manfaat maka ilmu dianggap benar. Sebaliknya, bila ia tidak memberikan manfaat maka ia tidak memiliki nilai kebenaran. Seberapapun banyaknya seseorang memiliki pengetahuan, tapi ia tidak kontributif terhadap kehidupannya, maka ia tidak memiliki nilai kebenaran. Begitulah pragmatisme pendidikan. 

Dalam pandangan pragmatisme, kriteria kebenaran sesuatu dilihat dari kegunaan dan kebermanfaatannya. Sesuatu dianggap benar bila ia membuktikan diri secara praktis akan kegunaan dan manfaatnya. Kebenaran suatu pengetahuan tidaklah dilihat dari aspek pengetahuan itu sendiri. Akan tetapi ia dilihat dari aspek sejauh mana ia memberikan kontribusi dan manfaat secara praktis bagi individu dan sosial. Dalam pragmatisme, tujuan seseorang berpikir dan berpengetahuan adalah kamajuan hidup, kenyamanan, dan kemapanan hidup. Apalah artinya, bila mempunyai pengetahuan yang berlimpah tapi tidak mempunyai kemajuan hidup. Kemajuan hidup dilihat dari seberapa ia dapat menggunakan ilmunya secara praktis.  Tokoh-tokoh utamanya adalah Charles S. Peirce, William James dan John Dewey.

Hanya saja, pemikiran John Dewey, dkk bukanlah jati diri pemikiran pendidikan Islam. Pragmatisme melihat kegunaan dan kebermanfaatan secara materialis dan sekuler. Sementara pendidikan Islam menggunakan pendekatan utilitas ilmu dalam dua aspek sekaligus. Kebermanfaatan di dunia dan kebermanfaatan kelak di akhirat.

Kecenderungan berlebih pada aspek kebermanfaatan di dunia saja akan melahirkan paradigma materialis. Artinya, ilmu dipandang bermanfaat bila pemiliknya kaya dan mapan. Kemapanan hidup menjadi kriteria kebermanfaatan ilmu yang dimilikinya. Seringkali, kita terjerumus pada pandangan pragmatisme-materialistik ini. Bila ada alumni yang hidupnya mapan, lalu muncul pandangan bahwa ilmunya bermanfaat dan mendapat barokah. Pandangan ini adalah pandangan pragmatisme. Dengan hanya mengkorelasikan kebermanfaatan ilmu dengan kemapanan finansial yang materialistik, bukan kebermanfaatan yang lebih universal.

Sebaliknya, kecenderungan yang berlebih terhadap kebermanfaatan ilmu hanya dalam aspek kehidupan akhirat, akan melalaikan kebermanfaatan ilmu di dunia. Padahal, kebermanfaatan ilmu dalam perspektif Islam dilihat dari aspek dua dimensi yang sama-sama fundamental: dimensi duniawi dan dimensi ukhrawi. Dimensi duniawi diartikan ilmu bermanfaat bagi pemiliknya di dunia. Sementara dimensi ukhrawi diartikan sebagai kebermanfaatan untuk kehidupan akhirat. Betapa beruntungnya seseorang bila ilmunya mengantarkannya mendapatkan hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Sungguh, merugilah mereka yang mendapatkan efek kebermanfaatan ilmunya di dunia saja, sementara wa maa lahu fi al-akhirat min khalaaq. 

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata tahun 2003.