Elit Islam VS Masyarakat Awam Islam
ADMINPESANTREN1522x ditampilkan Galeri Headline Artikel Ilmiyah Kolom Alumni
Oleh: Umar Faruk Fazhay*
Membaca judul di atas memang kita akan dihadapkan pada titik kesimpulan yang melahirkan nalar tanda-tanya. Sebuah pergeseran kelas sosial yang sebenarnya tak pernah berseberangan apalagi sampai berlawanan, dan yang paling banyak tergambar dan kurang begitu enak dipandang adalah ketika politikus menyasar para elit Islam lantas kemudian dilanjutkan dengan menekan masyarakat Islam. Inilah kemudian yang mendapat kritik oleh Abdul Munir Mulkhan, bahwa letak kekeliruan politik Islam ialah karena hanya meletakkan kekuatan dirinya pada sekolompok elit, hanya karena mereka memahami teks wahyu secara verbal dan bukan pada mayoritas warga awam.
Keluar dari pandangan Abdul Munir Mulkhan yang saya rasa akan melahirkan pro-kontra. Ada sebuah konsep sebenarnya yang menarik untuk kita kaji dan telisik kembali secara seksama dan mendalam, sebuah pernyataan, allahummah yarham RKH. Abdu Qodir AMZ yang sangat fenomenal yang kerapkali dikutip oleh allahummah yarham RKH. Moh. Tohir Zain dalam ceramah beliau, kurang lebihnya seperti ini: ‘kiai dan santri itu sebenarnya istifadah, saling mengambil manfaat antara satu dengan yang lainnya’. Seseorang tidak akan pernah dianggap sebagai kiai kalau tidak ada santrinya, begitu pun santri tidak akan dikatakan santri kalau tidak ada kiai, begitulah sebaliknya dan seterusnya.
Mendengar wejangan itu, ingatan saya flashback pada Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) yang biasa dikenal dengan sebutan simbiosis mutualisme yang diartikan sebagai hubungan khas makhluk hidup yang saling menguntungkan. Begitu pun dengan hubungan antara elit Islam dan masyarakat awam Islam, sebenarnya bukan membentuk hubungan yang mengarah pada rivalitas, namun lebih tepatnya mengarah pada komunikasi-dialogis. Maka dari itu, untuk melacak hubungan yang terbangun antara elit Islam dan masyarakat Islam setidaknya ada tiga model simbiosis yang bisa dijadikan barometer.
Pertama, Simbiosis Mutualisme adalah hubungan antara dua jenis makhluk hidup yang berbeda dan saling menguntungkan. Contohnya hubungan antara lebah dengan bunga, yang mana lebah diuntungkan mendapat nektar/madu dan bunga diuntungkan dalam proses penyerbukan. Contoh dalam sosial kemasyarakatan misalnya elit Islam menyediakan lapangan pekerjaan kemudian rekrutmen pekerjanya diambilkan dari masyarakat awam Islam. Dengan demikian, keduanya saling menguntungkan antara yang satu dengan yang lainnya.
Kedua, Simbiosis Parasitisme adalah hubungan antara dua jenis makhluk hidup di mana yang satu mendapat keuntungan sedangkan yang satunya lagi dirugikan. Contohnya benalu dengan tumbuhan yang ditumpanginya. Dimana benalu diuntungkan dengan menyerap sari makanan dari tumbuhan yang ditumpanginya, sedangkan tumbuhan yang ditumpangi dirugikan karena sari makanannya diserap oleh benalu. Misalnya elit Islam menyerukan untuk memilih paslon tertentu namun realitasnya setelah jadi pemimpin, kebijakannya sama sekali tidak memihak pada masyarakat awam Islam secara umum. Mereka condong memihak pada pemodal besar atau memihak pada penyandang dana pemenangan calon tersebut. Hal itu bisa dikatagorikan bahwa hubungan semacam ini merupakan bentuk pengejewantahan dari pada hubungan simbiosis parasitisme yang condong sepihak dan merugikan masyarakat awam Islam.
Ketiga, Simbiosis Komensalisme adalah hubungan antara dua makhluk hidup dimana yang satu diuntungkan sedangkan yang satunya lagi tidak diuntungkan dan tidak juga dirugikan. Contohnya ikan remora dengan ikan hiu di mana ikan remora dapat berlindung dari predator sehingga leluasa dalam mencari makanan, sedangkan ikan hiu tidak mendapat keuntungan ataupun kerugian dengan hadirnya ikan remora tersebut. Dalam konteks masyarat awam Islam memang terjadi dialog namun tidak ada respon, ikut seruan atau pengajian-pengajian yang diadakan oleh elit Islam namun masih mengambang, tidak memberikan kontribusi yang signifikan, tapi juga tidak menjadi penghalangan dalam perjuangan Islam. Ketiga komponen itu bisa dijadikan alat ukur dalam rangka menilai hubungan antara elit Islam dan masyarakat awam Islam. Apakah terjalin simbiosis mutualisme atau mengarah pada simbiosis parasitisme atau sekedar simbiosis komensalisme?.
Dengan demikian, prinsip merupakan fitrah paling mendasar bagi hubungan dan harga diri manusia. Mereka yang melanggar prinsip dan menodai hati nurani dengan cara merusak nilai-nilai istifadah yang terkandung dalam hubungan antara umat manusia merupakan dosa kemanusiaan yang paling ironis, sebagaimana Mahatma Gandhi membuat daftar tujuh dosa orang-orang yang menodai prinsip atau nuraninya, yaitu: kekayaan tanpa bekerja (wealth without work), kenikmatan tanpa suara hati (pleasure without conscience), pengetahuan tanpa karakter (knowladge without character), perdagangan tanpa etika/moralitas (commerce without morality), ilmu pengetahuan tanpa kemanusiaan (sience without humanity), agama tanpa pengorbanan (religion without sacrifice), dan politik tanpa prinsip (politic without principle).
Sebab, hubungan yang dialogis antara elit Islam dan masyarakat awam Islam akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang tak perlu dijelaskan panjang lebar karena sudah bertumpu pada “kepuasan”. Bentuk hubungan apapun tentu setidaknya harus mengarah pada profit and lose sharing atau dalam peribahasa Indonesia, “Ringan sama dijinjing, berat sama dipikul”. Inilah yang kemudian memberikan gambaran pada kita semua tentang hakikat manusia itu sendiri yang oleh Aristoteles disebut sebagai zoon politicon dalam kata lain sebagai makhluk sosial yang tentu tidak bisa hidup tanpa kerja sama dan bantuan manusia yang lain.
Mencari model dakwah istifadah yang seutuhnya
Prof. Dr. H. Achmad Mubarok, MA dalam bukunya, Psikologi Dakwah, menyatakan bahwa; ‘Dakwah dianggap berhasil (efektif) apabila kebutuhan yang didakwahi (madh’u) terpenuhi’, misalnya si-da’i menjelaskan ketimpangan sosial karena tidak adanya lapangan pekerjaan yang memadai, maka da’i harus menjadi katalisator agar orang yang didakwahi itu bisa mendapatkan apa yang diinginkan. Bukan hanya terhenti dalam retorika, namun masuk dalam wujud dan aksi nyata yang manfaatnya langsung diterima oleh khalayak masyarakat.
Maka dari itu, perlu adanya konsep fiqih tamkin (fiqih pemberdayaan). Sebuah ulasan fiqih yang bisa melahirkan masyarakat yang berdaya juang, berdaya guna, terampil, kreatif, memiliki etos kerja yang tinggi serta memiliki modal sosial. Menurut Yulizar d. Sanrego, dengan merujuk pada Surat Al-Hujurat ayat 10 tentang ukhuwwah, Rasulullah SAW merajut dan membangun unsur-unsur modal sosial (social capital), seperti percaya (trust), timbal balik (reciprocity) dan konektisitas (networking) sebagai modal kuat untuk membangun masyarakat yang berperadaban (tamaddun). Secara historical approach dijelaskan lebih lanjut, bahwa unsur pokok pemberdayaan pada fase Madinah adalah adanya unsur saling percaya (trust) dalam kerangka ukhuwwah (persaudaraan) antara kaum Muhajirin dan Ansor.
Elit Islam yang kita nilai sudah memiliki modal sosial yang mapan, tentu harus merangkul masyarakat awam Islam. Bukan hanya terjebak dalam euforia kampanye yang memiliki kepuasan sementara, setelah itu menghilang di tengah keterdesakan dan kebutuhan kehidupan masyakat yang mencekal. Pendayagunaan modal sosial yang dimiliki oleh elit Islam seharusnya menjadi bekal untuk menciptakan modal manusia (human capital) atau dengan kata lain pembentukan skill dan kemampuan tertentu yang dimiliki oleh masyarakat awam Islam. Sehingga masyarakat awam Islam itu sendiri memiliki keterampilan dan mampu mengaktualisasikan potensi mereka masing-masing.
Pada akhirnya, kita akan menyimpulkan bahwa hubungan antara elit Islam dan masyarakat awam Islam bukan berbentuk hubungan yang berseberangan (crossing relationship), namun merujuk pada hubungan relasi gandeng-tangan (istifadah). Modal sosial elit Islam harus didayagunakan untuk menciptakan modal manusia (human capital) yang orientasi akhirnya akan bermuara pada kesejahteraan dhahiriyah dan batiniyah masyarakat Islam secara kaffah. Wallah a’lam.
* Pendiri Komunitas Literasi Ashufa Institute sekaligus Alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata.