Nasihat Diri untuk Para Pelajar

ADMINPESANTREN Selasa, 12 September 2023 13:10 WIB
525x ditampilkan Galeri Headline Opini Santri

Oleh: Fauzi Efendi*

Mungkin kita tidak asing lagi dengan peribahasa lama “bagai ayam mati di lumbung padi” atau “ayam yang mati di gudang makanan”. Kemungkinan, ayam dalam gambaran peribahasa ini adalah jenis ayam yang tidak paham di mana ia berada, sehingga tumpukan makanan di sekelilingnya tidak dikelola untuk menghasilkan masa depan yang indah. Namun kita tidak sedang membahas ayam. Yang kita bahas adalah fenomena yang mirip: lumbung padi serupa dengan tumpukan ilmu, sedangkan manusialah ‘ayam’-nya.

Di era ketika ilmu melimpah ruah, sebagian orang tak kuasa mengambil manfaat darinya. Kejadiannya bermacam-macam, mulai dari rekan-rekan yang menyalin ratusan buku elektronik dan belum ada satu pun yang dibuka hingga setahun kemudian, atau para karyawan yang dibiayai ikut pelatihan sehingga mereka tidak bisa fokus belajar karena alasan on call pekerjaan. Belum lagi mahasiswa dan siswa sekolah dengan fasilitas mewah nan melimpah namun malas-malasan belajar, dan beragam contoh lain yang tak habis disebutkan satu-persatu.

Inilah mungkin masa yang disebut oleh Syaikh Zarnuji, penulis kitab Ta’lim al-Muat’alim (Pelita Penuntut Ilmu), ilmu melimpah, namun tak tampak berkah, Ilmu sedemikian banyak, belum kelihatan nampak. Di zaman dulu, nasihat seorang guru begitu membekas hingga akhir hayat, sedangkan para trainer di era kini harus melonjak-lonjak memotivasi berbalut ice breaking dan tak mesti juga melahirkan hasil. Investasi pengembangan dan pelatihan merupakan investasi yang selalu dianggap penting. Namun, tak pernah ada yang berani menghitung return on investmen-nya.

Apa sebabnya? Usut punya usut, sesuatu yang juga menjadi penyebab Syaikh Zarnuji menulis kitab yang tersohor itu adalah ‘adab’. Ya, kondisi yang kita bahas ini bukan soal kurangnya ilmu, tapi kurangnya adab. Ilmu di era ini melimpah ruah, semudah menjentikkan jari untuk menghadirkannya di hadapan. Namun adablah yang menghalanginya masuk dalam pikiran dan jiwa, seperti tirai pada jendela yang menutup cahaya. Apakah beradab seorang karyawan yang dibiayai mengikuti program pembelajaran tetapi keluar masuk hingga tak utuh menangkap materi? Alasannya tentu sahih: pekerjaan, tetapi ketika ia sadar bahwa tak mungkin perusahaan mendesain sebuah program jika tak memiliki nilai yang tinggi, semestinya ia bisa lebih baik mempersiapkan diri agar tidak terganggu. Bagaimana pula disebut beradab siswa dan mahasiswa yang ogah-ogahan belajar, padahal guru dan dosennya telah meluangkan segenap kemampuan untuk mengajar? Alasannya masuk akal, kelasnya membosankan, seolah ia lupa pada niat asalnya: adakah ia ingin mendapat ilmu atau mendapat hiburan?

Tentu kondisi seperti di atas bisa terjadi karena faktor para pengajar pula. Tapi itu bukan fokus kita sekarang. Insya Allah kita akan fokus ke sana pada saatnya nanti. Sekarang kita ingin mulai dari diri kita, sebagai seorang pelajar. Mari kita renungkan bahwa, kitalah yang fakir ilmu. Tanpa ilmu tak kan hadir perilaku, tanpa perilaku tak kan lahir hasil, tanpa hasil tak kan datang nasib. Sementara ilmu sedemikian melimpah, namun mengapa masih ada pelajar yang merasa nasibnya kurang beruntung? Sementara fasilitas sekolah dan kampus begitu kaya, mengapa banyak siswa dan mahasiswa tak siap hadapi dunia nyata?

Tak heran jika nasehat yang sampai pada kita tentang proses belajar adalah adab sebelum ilmu. Sebab, adab yang baik akan memungkinkan ilmu mengalir deras. Guru sejati, diamnya pun mengajar. Namun, hanya murid sejati yang dapat memetik ilmu dari diamnya guru. Sebab, belajar bukan hanya sekadar proses mengumpulkan pengetahuan, akan tetapi belajarlah yang menjadikan pengetahuan menjadi bagian dari diri hingga terwujud dalam amal dan tindakan, lalu terlahirlah hasil. Memang proses ini kerap menyakitkan, hanya dengan adab kita akan tekun menjalaninya.

Di sisi lain, pekerjaan dalam kehidupan ini sungguh amatlah banyak. Dan tiap pekerjaan pasti tidak menginginkan pekerja yang seadanya saja, tapi yang luar biasa. Praktik seperti itu bisa kita temukan di banyak tempat. Saat berobat, apakah kita ingin bertemu dokter seadanya atau dokter yang luar biasa? Saat makan di restoran, kita berharap dilayani oleh koki yang seadanya atau yang luar biasa? Saat belajar di kampus atau sekolah, kita berharap diajari oleh guru yang seadanya atau yang luar biasa? Saat membuka usaha, kita berharap punya karyawan yang bekerja ala kadarnya atau yang di atas rata-rata? Saat memilih petugas keamanan, adakah perusahaan berharap petugas yang bekerja seenaknya atau yang bersungguh-sungguh dalam bekerja? Bahkan saat kita memarkir kendaraan di sebuah gedung, kita berharap diarahkan oleh petugas yang seadanya atau petugas yang luar biasa? Kita masih bisa melanjutkan lagi daftar pertanyaan di atas. Tapi bisa diperkirakan, pilihan kedualah yang banyak orang harapkan.

Tak satu pun pekerjaan di dunia ini akan baik jika dikerjakan ala kadarnya. Apa jadinya jika jembatan yang dibangun oleh orang-orang yang tidak kompeten? Mengerikan, bukan? Maka belajar adalah kebutuhan layaknya makanan. Tugas kita dalam kehidupan sedemikian banyak dan semuanya menghendaki kita berada dalam tingkat keahlian yang setidaknya memadai dan diharapkan semakin meninggi. Mereka yang tidak belajar akan tertinggal. Ilmunya kadaluwarsa. Keahliannya tidak relevan. Kerja ala kadarnya. Tapi yang paling mengerikan adalah dampaknya. Tukang tambal ban yang tidak kompeten dalam bekerja dapat membahayakan pemilik kendaraan. Bagaimana dengan orang tua yang tak kompeten dalam mendidik anak?

Jadi belajar adalah sebuah syarat agar hidup berbuah manfaat. Tanpa belajar, kita tidak saja akan jauh dari melahirkan hasil kerja yang sempurna. Kita bahkan berpotensi menghambat laju kehidupan orang lain.

*Santri Aktif PP. Mambaul Ulum Bata-Bata, asal Sana Laok.