Seragam atau Beragam?
ADMINPESANTREN1392x ditampilkan Galeri Headline Artikel Ilmiyah Kolom Alumni
Imroatul Mufidah*
Tak mengapa berbeda, karena sama tak selalu sebaik yang kau kira.
Beberapa minggu yang lalu, saya bertemu dengan seorang lelaki paruh baya dan anak kecil yang kuasumsikan adalah anaknya di bus menuju Surabaya. Mereka berbincang dan selalu saya perhatikan. Setiap melihat poster bola di pinggir jalan, anak yang berusia sekitar lima tahun itu berteriak antusias.
“Kenapa kok mau jadi pemain bola? Kenapa gak jadi dokter saja, atau guru seperti kakakmu?” kata lelaki paruh baya itu. Saya masih asyik melihat mereka berdua, kursi kita berseberangan. Anak lelaki itu menjawab bahwa ia mencintai bola. Lelaki paruh baya itu merangkul anaknya, sembari berucap, “Iya gak papa, nggak harus jadi dokter atau guru. Yang penting nanti mesti usaha keras buat mencapai cita-cita, ya” katanya.
Momen seperti itu memang singkat, tapi banyak sekali saya mengambil manfaat. Salah satunya tentang ‘perbedaan’ yang ingin saya diskusikan di tulisan kali ini.
Dalam hidup, terkadang kita terjebak dengan tuntutan yang terlalu banyak pada diri kita. Benar, terkadang dunia menuntut itu semua. Orang-orang di sekitar kita secara tidak langsung telah bersepakat atas suatu hal yang harus kita jalani, padahal belum tentu kita sukai. Beberapa orang tua memaksa anaknya berprofesi ini itu hanya karena anak tetangga juga berprofesi sama. Beberapa orang lainnya menganggap kulit putih lebih cantik dari pada kulit hitam, padahal bukan itu standar kecantikan. Bahkan beberapa teman juga mengomentari saya karena menggilai warna hitam, seharusnya perempuan menyukai merah muda, ungu, atau hijau, katanya. Lah, siapa yang buat aturannya?
Kalau melihat kejadian yang saya alami di bus, saya mengapresiasi sekali jika seorang ayah mengamini cita-cita anaknya meski tak sama dengan yang lain. Sayangnya, tak semua orang dapat berlaku demikian. Di Indonesia, ada kecenderungan yang mendorong para anak didik untuk menjauh dari kata kreatif. Misalnya seseorang kerap menanyakan “Berapa hasil dari X tambah X?” yang hanya membutuhkan satu jawaban. Jarang sekali seseorang yang menanyakan “Apa yang bisa kamu lakukan pada X?” yang justru pertanyaan itu dapat menghasilkan berbagai macam jawaban yang berbeda-beda, pun dengan cara yang berbeda-beda.
Dengan stigma yang masih mengakar di beberapa orang, membuat kita merasa tidak nyaman dengan perbedaan yang ada pada diri kita. Padahal, berbeda tidak selalu berkonotasi negatif. Kecenderungan yang sudah mendarah daging tentang ‘kebersamaaan’ ternyata memberikan dampak demikian. Benar bahwa kebersamaan sangat penting dalam membangun sebuah komunitas, sebuah kelompok, juga dalam bermasyarakat, akan tetapi sangat lucu jika justru mesti ada ‘kebersamaan dalam sebuah ide’. Ide kita harus sama, atau bahkan kita mengekor milik yang lainnya, hal itu menjadikan kita tidak percaya diri dengan ide kita sendiri. Karena takut berbeda dan tidak menjadi sama dengan mereka.
Umumnya manusia berpikir dengan dua tipe, konvergen dan divergen. Cara berpikir konvergen membantu dalam memberikan jawaban dari persoalan hanya dengan dua pilihan, benar atau salah. Bagi orang seperti ini, hanya ada hitam atau putih tidak ada abu-abu. Sedangkan berpikir divergen adalah proses berpikir yang mengeksplorasi berbagai kemungkinan solusi untuk menghasilkan ide brilian dan kreatif. Jika berpikir konvergen terfokus pada pengumpulan fakta dari sebuah peristiwa, maka divergen mengacu pada sudut pandang yang bervariasi dalam melihat suatu peristiwa. Kemudian mencoba berbagai solusi untuk memecahkan masalah, hingga menemukan solusi yang tepat. Harusnya kita mampu untuk berpikir divergen, sehingga kita dapat memikirkan suatu hal agar menjadi unik dan tidak biasa, tidak takut untuk berbeda.
Saat menulis ini, saya teringat seorang teman saya yang selalu memiliki ide gila dan berbeda. Saya memintanya untuk say something tentang perbedaan. Katanya, berbeda adalah hal yang membuat kita berjalan. Saya berpikir sejenak, lalu mengamini ucapannya. Bahwa dengan berbeda, kita akan terus berjalan, bertumbuh, memiliki progress, dan tidak hanya diam dalam zona nyaman karena sudah merasa sama dengan yang lain. Jangan pernah takut untuk menjadi berbeda, karena berbeda tak selamanya salah, justru indah.
Ada beberapa hal dalam hidup yang tak hanya perihal benar atau salah, tapi tentang dari sudut mana kita melihatnya, dari perspektif apa kita memahaminya. Kita tidak boleh men-judge keputusan atau pemikiran orang lain hanya karena kita tidak sama dengan mereka. Banyak hal di dunia ini yang tak perlu seragam, melainkan memang mesti beragam.
*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata, aktif sebagai ketua DPP Puteri IMABA periode 2021-2024.