Jalan Keluar dari Pintu Gerbang Kemerdekaan

ADMINPESANTREN Jumat, 19 Agustus 2022 06:59 WIB
2005x ditampilkan Galeri Headline Artikel Ilmiyah Kolom Alumni

Oleh: Fitria Masruroh*

Laksana hunian, Indonesia merupakan rumah. Bila hunian dibangun dengan properti seperti kayu, semen, batu, air, dan seterusnya maka Indonesia digubah dengan perlawanan dan perjuangan pergerakan kemerdekaan sebagai pintu gerbangnya. Melalui pintu gerbang tersebut, rakyat Indonesia mengalami reposisi. Jiwa-jiwa yang mulanya ciut nyali karena amokan penjajah kemudian mendapat angin segar tergantikan optimisme. Sebagaimana termaktub dalam alinea ke-II pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi:

"Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur."

Alinea ke-II pada Pembukaan UUD 1945 ini mengisyaratkan bahwa kemerdekaan yang kita nikmati belum tuntas. Sebab, perjuangan pergerakan kemerdekaan hanya bisa mengantarkan rakyat Indonesia pada pintu gerbang. Bahkan secara terang-terangan, pembukaan UUD 1945 kita memilih diksi depan pintu gerbang. Di bidang kajian Ilmu Sosial Budaya, kalau ada pintu gerbang pasti ada ruangan dalam dan ada rungan luar, bukan?. Masyarakat Madura menamai ruangan dalam dengan sebutan kamar sedangkan ruang luar disebut amper.

Mengheningkan Cipta

Pada 17 Agustus 2022 lalu, usia kemerdekaan Indonesia mencapai 77 tahun. Ibarat manusia, usia 77 tahun bukan umur yang tua apalagi muda tetapi sudah tergolong lansia. Sebuah fase umur di mana manusia seharusnya sudah menikmati buah keberhasilan yang ditanamnya selama di usia muda. Sehingga manusia tidak perlu susah payah dalam menggenapi kebutuhan hidupnya. Begitu juga dengan rakyat Indonesia di usia 77 tahun kemerdekaan. Seyogyanya, tidak ada lagi praktik-praktik kolonial tetapi faktanya justru praktik tersebut liar berkeliaran.

Indonesia sebagai negara hukum musti memperlakukan secara sama warganya di mata hukum. Artinya, tak ada yang dianakemaskan maupun dianaktirikan. Fakta yang terjadi di Indonesia dengan usia kemerdekaan 77 tahun justru jauh panggang daripada api. Eksploitasi alam yang diagung-agungkan kolonial juga diidolakan oleh para elite negeri ini. Belanda tak mau mentolerir perbuatan apasaja asal keuntungan material bagi diri sendiri dan kroni terjaga pun dicontohkan dalam kehidupan berbangsa kita.

Sejak SD hingga SMA sederajat, kita melaksanakan upacara bendera sekurang-kurangnya sekali dalam sepekan tepatnya pada hari Senin. Setiap kali mengikuti upacara bendera, kita diajak untuk mengheningkan cipta. Sebuah prosesi yang ditandai dengan berdiam diri sambil menundukkan kepala untuk berdoa, merenung, dan mengenang orang-orang yang telah gugur dalam suatu peristiwa. Prosesi mengheningkan cipta umumnya sebagai salah satu bentuk penghormatan bagi jasa ataupun duka cita kepada orang yang telah meninggal dunia.

Merujuk pada KBBI, hening memiliki tujuh arti: jernih; bening; bersih; diam; sunyi; sepi; dan lengang. Sedangkan cipta dalam KBBI punya dua makna: kemampuan pikiran untuk mengadakan sesuatu yang baru; dan angan-angan yang kreatif. Secara sederhana mengheningkan cipta merupakan sebuah upaya pemusatan pikiran guna menghadirkan pikiran yang fresh dan kreatif. Fresh dan kreatif tidak berarti harus menutup mata pada sejarah justru mengambil ibrah dan pelajaran darinya. Tak bisa dibantah bahwa sejarah tidak pernah terulang yang terulang adalah kemiripan peristiwanya.

Problemnya adalah apakah kita sudah berada di ruangan dalam kemerdekaan yang bisa sepenuhnya puas menikmati sumber daya yang tersedia?. Ataukah berada di ruangan luar kemerdekaan yang gegap gempita mengelola sendiri secara mandiri kandungan alamnya?. Atau justru kita masih stagnan pada kondisi yang cara menjajah dan mengeksploitasinya saja mengalami perubahan. Ada bijaknya mengheningkan cipta merenungi realitas sosial kehidupan di usia 77 tahun Indonesia merdeka untuk menemukan solusi yang tepat.

Jalan Keluar

Indonesia diceritakan sebagai negeri yang gemah ripah loh jenawi toto tentrem kerto raharjo. Bila ditelisik lewat sumber daya alamnya, Indonesia memang layak menyandang gelar subur. Sudah saatnya kita melihat cerita tersebut pada kenyataan saban hari kehidupan bangsa Indonesia ke depan. Menariknya, Alquran memuat tentang satu surah bernama kisah-kisah (al-Qashash) yang sangat relevan memberi solusi dalam menangani tragedi-tragedi yang mendera negeri ini. Hal ini diungkap dalam QS. al-Qashsah ayat 77 yang berbunyi:

"Dan carilah (pahala) negeri akhirat dengan apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu, tetapi janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia dan berbuatbaiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan." (QS: al-Qashash: 77).

Boleh jadi, carut-marut dan musibah yang silih berganti menghujam negeri ini lantaran manusianya yang tergiur keduniawian dan lupa terhadap akhirat atau terjebak pada kehidupan akhirat yang antipati pada kehidupan di dunia. Keduanya sama-sama tidak bisa dibenarkan. Sebab, esesnsi QS: al-Qashash: 77 ini meneguhkan pentingnya keseimbangan antara kepentingan hidup di dunia dan akhirat.

Buah dari keberimbangan melakoni aktivitas kehidupan di dunia dan akhirat sebagaimana tersirat dalam ayat tersebut adalah kesukarelaan berderma dan berbuat baik terhadap sesama. Selain itu, ayat tersebut mengecam praktik-praktik yang berpotensi merugikan bagi kehidupan pribadi maupun sosial termasuk dalam konteks kehidupan berbangsa serta bernegara. Terakhir, dalam memperingati Hari Ulang Tahun Republik Indonesia ke-77 ini perlu mengintegrasikan esensi QS. al-Qashash: 77 dengan harapan kita bisa menikmati istimewanya kemerdekaan. Semoga.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-Bata sekaligus Sekretaris Umum DPP Puteri IMABA Periode 2021-2024.