Ekstase Maulid dalam Kosmologi Masyarakat Madura

ADMINPESANTREN Jumat, 15 November 2019 09:15 WIB
1294x ditampilkan Galeri Headline Kolom Alumni Karya Alumni

Oleh: Henny Jufawny*

Krisis lingkungan hidup, baik sosial maupun material, biotik abiotik, telah mulai membayangi masyarakat Madura pasca Suramadu yang terus tersudut oleh gelombang neoliberalisme. Proyek-proyek investasi dan pembangunan yang disponsori pihak asing, semakin menggiring masyarakat Madura beserta kebudayaannya pada areal yang semakin kelabu. Tanpa ada dialog multikultural dan rekonsiliasi struktural, masyarakat Madura harus siap-siap untuk kehilangan kuasa dalam mengatur rumah tangganya sendiri, terutama terkait dengan tata ruang dan detail wilayah, di darat maupun di laut.

Geliat investasi asing yang dijalankan negeri ini hampir membuat miris semua kalangan, tak terkecuali yang terjadi di Madura. Bukan hanya persoalan pengalihan hak milik dan fungsi lahan, dari masyarakat setempat ke pemilik modal (kapital asing), dari lahan pertanian dan perkebunan ke pertambangan dan tambak udang, tetapi lebih pada perusakan lingkungan dan selanjutnya pada pertengkaran kebudayaan. Semua terjadi begitu sistematis, bahkan sistemik dan terus menjalar ke berbagai suprastruktur secara vertikal dan horizontal.

Mulai munculnya krisis lingkungan di Madura, walau belum separah di daerah lain, sebenarnya merupakan tanda adanya krisis yang paling fatal, yaitu krisis kemanusiaan, bahkan kekhalifahan. Alangkah mudahnya, ribuan hektar tanah terjual dengan harga murah ke pihak investor (lagi-lagi asing), dan mereka melakukan berbagai aktivitas bisnis yang merugikan pihak setempat dan merusak lingkungan sekitar, tanpa ada perlawanan yang berarti dan selamat dari balutan regulasi. Seorang guru saya, Syarwini Syair, pernah berdawuh dalam sebuah kajian: “Kalau kalian menjual semua tanah dan memasrahkannya di tangan orang-orang asing, lalu di mana kalian akan mengerjakan tugas kekhalifahan? Allah menciptakan kita semua sebagai khalifahNya di bumi, bukan di langit. Kalau kita sudah tidak punya tanah, maka kita akan gagal jadi khalifah!”.

Kosmologi Masyarakat Madura: Sebuah Tinjauan Metafisis

Kosmologi berhubungaan dengan paradigma terhadap alam (kosmos). Paradigma ini, apalagi yang berlaku dalam sebuah komunitas tertentu (termasuk Madura), tidak akan terlepas dari segala apa yang berlaku di dalam masyarakat itu sendiri: nilai-nilai, tradisi, agama dan (secara umum) kebudayaan. Semua itu merupakan unsur-unsur yang saling berkelindan membentuk senyawa-senyawa antara salah satunya adalah paradigma dan sikap hidup.

Proses persenyawaan unsur-unsur tersebut, bisa saja melahirkan akses-akses negatif, dan hal ini wajar selama masih menjadi sebuah proses yang terus berlangsung, bukan akhir yang sudah final. Terlebih lagi ketika festival globalisasi meruntuhkan sekat-sekat primordial dan batas-batas kultural, yang memungkinkan setiap masyarakat berbaur dalam satu rumah bersama: masyarakat global. Masyarakat Madura jadi bertetangga dengan orang-orang Cina dan Timur Tengah, sebagaimana Eropa dan Amerika juga menjelma seperti kerabat dekat, meskipun berada dalam wilayah teritorial yang jauh dan jelas berbeda. Inilah baik buruknya globalisasi yang meniscayakan adanya tafsir ulang (reinterpretasi) secara lebih kritis dan istiqamah terhadap paradigma-paradigma, terutama pandangan kita (masyarakat Madura) terhadap alam (kosmologi).

Di Barat (baca: Eropa dan Amerika) kosmologi hanya terhenti pada aktivitas sains yang didasarkan pada metode ilmiah yang sangat positivistik. Secara umum, realita kosmik dilihat sebagai realita materi dengan hukum-hukum yang tetap dan kerja mekanistik, sehingga bisa dipahami secara rasional dan digeneralisasi, yang dibahasakan oleh Newton dengan World as a Machine (Maimun, 2015:119). Pandangan ini, sedikit mengebiri peran Tuhan sebagai pengatur alam (mudabbir al-alam), yang hanya diibaratkan sebagai pembuat jam yang tidak punya peran lagi setelah jam selesai dibuat. Jam akan beroperasi secara mekanis dan mandiri sesuai hukum-hukum yang sudah ditetapkan oleh si pembuat jam.

Berbeda dengan masyarakat Madura, alam dipandang sebagai media pelaksanaan tugas kekhalifahan. Pandangan ini bersumber dari kebudayaan masyarakat Madura sendiri yang sarat dengan ajaran agama Islam, dengan banyaknya pesantren yang bertebaran di lintas wilayah, kota sampai pedesaan (pedalaman dan pesisiran). Dengan demikian, alam dan gejalanya tidak bisa dilepaskan dari eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur alam semesta. Artinya, seperti yang disampaikan oleh Syarwini Syair, pandangan masyarakat Madura terhadap alam (kosmologi), tidak hanya berdasarkan ilmu yang rasional, tetapi juga hikmah (filsafat) yang teransendental (metafisis).

Medan operasi kosmologi masyarakat Madura memiliki spektrum yang sangat luas dan tidak terlepas dari kesadaran religiusitas. Aktivitas apapun yang bersentuhan dengan alam, masyarakat Madura selalu mengawali dan mengakhirinya dengan perangkat-perangkat religius, semisal doa. Sebelum menanam benih tanaman pertanian dan membangun rumah, masyarakat Madura terbiasa mengadakan selamatan atau doa bersama, begitu juga saat mereka panen atau bangunan rumah selesai. Sama halnya ketika mereka melaut, bahkan berdagang. Para petani, nelayan, peternak, pedagang di Madura memiliki doa-doa khusus terkait dengan profesi mereka masing-masing dalam ekosistem alam semesta. Menurut mereka, alam (manusia dan lingkungan) tidak hanya ditundukkan dengan ilmu, tetapi juga doa (metafisis). Dalam hal ini, realitas kosmik atau realitas duniawi yang dimaksud adalah dunia sejauh yang kita alami seutuhnya yang tidak hanya terbatas pada benda mati (fisiokimis), tetapi juga seluruh makhluk hidup, sebagai objek material kosmologi (Bakker, 1995:28).

Konsep kosmologi sebagaimana dipaparkan di atas, tumbuh dari aneka ragam nilai-nilai (terutama agama) dan tradisi yang kompleks dan berlangsung sangat lama. Ini tidak bisa dilihat secara simplistik dengan pola pandang yang dikotomis, bahkan kerangka penilaian yang hanya mengedepankan hitam putih, intensitas yang dilawankan dengan heresi tidak akan pernah menjelaskan secara utuh realitas kehidupan masyarakat Madura (A’la, 2004:6). Masyarakat Madura tidak bisa dipisahkan dari agama dan budaya mereka, dalam membangun paradigma terhadap kosmis, atau bahkan dalam berbagai paradigma yang lain. Aktivitas kealaman merupakan pengejawantahan dari kesadaran kekhalifahan yang dijalankan dalam rangka mencari dan mendapatkan perkenan (ridla) Tuhan Semesta Alam.

Perayaan Maulid dan Krisis Ekologi

Maulid Nabi adalah salah satu tradisi keagamaan yang berkembang di Madura dengan melekat erat pada struktur kebudayaan masyarakatnya. Tradisi keagamaan adalah salah satu tafsir terhadap dimensi normatif Islam yang terikat oleh ruang dan waktu, dan biasa dikenal dengan sebutan Islam historis. Menurut Azra (1999:11-12), agama sejarah menampakkan diri secara nyata dalam bentuk little tradition, atau local tradition yang termanifestasikan dalam masyarakat, di mana Islam sebagai agama normatif dan great tradition yang menjadi konsepsi realitas mengakomodasi kenyataan sosial budaya masyarakat.

Perayaan Maulid Nabi menjadi semacam ekstase masyarakat Madura sebagai wujud aktual dari kegembiraan atas kelahiran sang nabi teladan sepanjang zaman. Secara syariat, Nabi Muhammad sudah meninggal dunia lebih empat belas abad silam, tapi secara hakikat, beliau senantiasa hidup di hati orang-orang yang selalu mencintainya. Maka pembacaan shalawat dalam tradisi maulid, harus dipandang sebagai ungkapan rasa cinta dan luapan kerinduan dalam keharmonisan budaya. Bukan ajang pengkultusan dengan ritual tertentu yang sangat gampang dituduh sesat dan bid’ah.

Shalawat adalah permohonan rahmat atas nabi, keluarga dan shabatnya, yang secara teologis juga kepada kita yang mempercayainya. Rahmat harus diolah sedemikian rupa menjadi berkah, yang berupa kebaikan yang melimpah, untuk ditransfer ke berbagai lini kehidupan dan lingkungan alam sekitar. Bukankah keberadaan nabi merupakan simbol atas kasih sayang (rahmat) Allah kepada seluruh alam? Lalu bagaimana mungkin kita berbalik punggung pada kerusakan alam sementara kita adalah orang-orang yang senantiasa bershalawat menyanjung Nabi? Rahmat dan keberkahan adalah muatan utama keselamatan yang menjadi misi Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad, baik keselamatan kemanusiaan maupun lingkungan alam.

Oleh karena itu, Nabi selalu berpesan dalam setiap peperangan untuk tidak merobohkan bangunan, merusak lingkungan dan membunuh binatang. Ini menunjukkan betapa besar perhatian Nabi terhadap kelestarian lingkungan meskipun dalam keadaan perang. Sementara shalawat merupakan upaya untuk bisa merahmati, mulai dari diri sendiri sampai pada lingkungan yang ditempati. Sehingga tercipta hubungan harmonis dan sismbiosis mutualisme antara manusia dan alam sesuai prinsip ekologi yang bersumber dari pandangan keagamaan sebagaimana ditemukan dalam kebudayaan orang-orang Madura.

Adalah kebohongan besar apabila tradisi bermaulid dan shalawatan sebagai ungkapan cinta kepada sang Nabi tidak melahirkan sikap peduli terhadap kelestarian lingkungan. Bagaimana bisa disebut mencintai, apabila tidak sanggup meneladani sikap hidup sang kekasih? Cinta kepada Nabi yang mendasari pelaksanaan maulid adalah cinta pada diri Nabi dan ajaran-ajarannya yang teraktualisasikan dalam setiap perilakunya (Syair, 2015:16). Shalawat harus menjadi spirit dalam membangun paradigma terhadap alam (kosmologi), agar Nabi sebagai pembawa rahmat Tuhan bagi seluruh alam, benar-benar dapat dilabuhkan secara wajar dan merata. Krisis ekologi yang sudah mulai tampak di beberapa titik di Madura, seperti di beberapa lokasi di derah pantura Kabupaten Sumenep dengan adanya pembangunan tambak udang, bilamana tidak menggugah hati orang-orang Madura, maka ekstase bershalawat hanyalah sebuah manipulasi belaka.

Begitulah adanya, perayaan maulid yang berisi shalawatan telah melahirkan nilai-nilai dalam kebudayaan Madura yang menjadi pedoman membangun paradigma terhadap alam. Kerusakan alam akibat aktivitas usaha yang dikembangkan oleh pihak asing di Madura harus segera dihentikan dengan spirit shalawat, dan tetap melalui jalur regulasi yang semestinya. Eksploitasi terhadap alam harus digantikan dengan upaya yang lebih eksploratif dengan tetap memperhatikan keseimbangan ekosistem dan habitat lingkungan. Apapun namanya, mulai dari penambangan, tambak udang atau mungkin reklamasi pantai, dan aktivitas lainnya yang tidak bersahabat dengan alam adalah sebuah pelanggaran etika kemanusiaan dan kekhalifahan yang tidak bisa dimaafkan.

*Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Mambaul Ulum Bata-bata tahun 2014 yang sekarang aktif mendampingi suami sebagai aktivis lingkungan hidup, tinggal di Sumenep.